Tuesday 19 November 2019

Dialog Hamba Yang Sedang Dilanda Cinta II

Siang ini begitu dingin,  hujan disertai angin
Aku berlarian dari jalanku menuju rumah
Berteduh di sebuah emperan toko kaos kaki yang ditutup
Dan disanalah kamu, yang bertahun-tahun masih menjadi doaku
Menganga menatapku yang sama terkejutnya dengan dirimu


.....................................................................................................

Aku terdiam, sejenak terpusat pada hadirmu yang menjadi nyata kembali
Hujan menyadarkan lamunan lamaku, menampar seluruh  badanku tanpa basa-basi
Aku segera berteduh dengan canggung di sampingmu, yang matamu masih mengekor mengikutiku
Semua terdiam, kamu dan aku terdiam, kecuali kawanan air di luar sana

"Kamu apa kabar?," sapamu. Entah mengapa terdengar menyakitkan dari getar suaramu
Aku masih saja membisu, terbius rasa berkecamuk di dalam dada
Aku menggigit bibir, berharap Tuhan segera menghentikan hujan saat itu
Aku ingin berlari, meninggalkan sapaanmu
Aku menimbang-nimbang balasan apa yang harus diucapkan
Namun tak satupun kata muncul dalam otakku
Aku menyerah, tak tahu harus berkata apa.....
"Hei, aku baik. Oh eh, Assalamuailaikum.. Kamu juga baik? Keliatannya juga semakin baik.."
Kurutuk diriku dalam hati, suara riangku yang terdengar janggal dan berlebihan

Kamu tertawa ringan, nyaris tak terdengar
Mataku menatapmu, senyum favoritku...
"Wailakumussalam..Kamu masih ceria ya ternyata."

Dan berceritalah diri kita, di bawah konser air dan angin yang kini terasa merdu
Kamu yang telah pulang dari tempatmu menuntut ilmu
Kamu yang akan menetap sejenak di kota kenangan kita ini sebelum berpindah kembali
Kamu dan stetoskopmu, seperti impianmu saat itu
Aku menggenggam erat tabung arsitekku, penghalau dingin yang tak signifikan
Kamu memperhatikanku, seraya berkata, "Wah, bakat menggambarmu terasah betul sepertinya."

Hujan telah reda, hanya tetesan air yang menggoda manusia untuk ragu keluar dari persembunyian
Kita saling berpamit diri, berjalan ke arah yang berbeda
Kita saling memunggungi, dengan pikiran masing-masing
Hingga kemudian kamu berbalik dan berkata,
"Nomorku masih yang dulu."

Aku gelisah, rasa yang sebetulnya telah menjadi sahabatku bertahun-tahun lamanya
Kini rasa itu semakin menebal tak tahu malu

Malam ini suara jangkrik di luar sedang riuh
Aku terdiam, menatap nomor di layar telepon genggamku
Nomor yang selalu ada di sana meskipun handphoneku telah berganti bermacam rupa
Dengan nama yang sama sejak dulu tersimpan
Yang bila diibaratkan seperti buku, telah berdebu meski rapi di lemari
Kuberanikan diri untuk mengetik sesuatu disana, barangkali hanya sapaan ringan semata
Namun buru-buru kuhapus kembali, menatap langit dengan lama hingga tertidur

Hari berganti hari, bulan kemudian berganti tahun
Memorimu masih berada pada tempatnya, tersimpan rapi di relungku yang terdalam
Tak terjamah, tak terlihat
 
Telah usai aku belajar arsitek di kampus impianku
Dengan lega kugenggam koper besarku, tak lupa dengan tabung arsitek hitamku
Minggu depan aku akan memulai hidupku yang baru, di sebuah negara bersalju
Kuperiksa berulang kali tiket penerbanganku, dua jam lagi pesawatku akan datang

Saat itu, hari sangat bersalju
Aku telah sampai pada tujuanku
Sebuah flat berukuran kecil yang akan menemaniku susah senang selama bekerja di sini
Aku menatap jendela kamarku yang berseberangan dengan bangunan di luar sana
Putih.. putih.. dan putih..
Dan aku teringat kembali kata-katamu saat itu
"Salju, impian keduaku setelah kamu."

Lamunanku terhenti oleh ketukan dari pintu flatku
Kurapikan bajuku sebelum membuka pintu
Jantungku terhenti seketika

Kamu, dengan mata jernihmu yang sama terkejutnya denganku
Kamu, menggendong seorang bayi berparas barat nan ayu
Seseorang di sebelahmu tersenyum, wanita berwajah sama dengan anak di gendonganmu
Berbicara bahasa asing di telingaku
Menyodorkan topiku yang tertinggal di resepsionis

...................................................................................................

"Salju, impian keduaku setelah kamu."

Impianku yang selalu kugenggam meski kamu meninggalkanku tanpa suara
Tas kerjaku berayun penuh harap setelah pertemuan kita saat itu, di hujan favoritmu
Nomormu telah lama hilang setelah kemarahanku atas perginya dirimu
Kuselipkan kata meminta rayu untukmu menghubungiku kembali
Tetapi namamu tak kunjung muncul dalam hari-hariku setelah itu
Rupanya pertemuan kita kala itu akan menjadi pertemuan terakhirku denganmu
Tersirat rasa bangga dalam hatiku memandang tabung arsitek impianmu sejak dulu

Aku menyerah dan meninggalkanku perlahan...

"Farish, kamu sudah yakin akan menikah dengan perempuan dari Jerman itu?"
Ibuku, orangtuaku satu-satunya bertanya kepadaku dengan cemas
Terlihat kekhawatiran di gurat masa tuanya
"Namanya Irisha, bu. Insha Allah Farish siap."

Dan disinilah aku, tinggal bersama seseorang dari jauh yang kini telah menjadi milikku
Wanita cerdas dari sebuah negara bersalju yang menjadi partner kerjaku semasa menuntut ilmu
Kami tinggal di negara itu, tempat aku dan kamu pernah bermimpi bersama disana

Hingga suatu pagi yang cerah, dengan perut yang penuh setelah sarapan di cafe sebelah
Resepsionis menitipkan sebuah topi yang tertinggal di bawah
"Ini milik (orang) Indonesia. Dia tinggal dua nomor dari flatmu."
Kuminta Irisha membawanya sementara aku menggendong bayi kami

"Salju, impian keduaku setelah kamu."

Memang benar begitu, hanya saja.... kini bukan kamu yang berada di sampingku
 
Catatan Lebay Seorang Dugong Blogger Template by Ipietoon Blogger Template