Friday 18 December 2020

Laksamana Bulan

Kala hujan menyapaku
Lalu kamu bersenandung sebuah lagu
Tidak ada yang membuatmu malu
Kecuali bila aku memergoki kamu

Kala berada di hutan rimba
Kamu berkelana di dalam sana
Entah apa yang sedang kamu cari
Aku ada di sini mengawasi

Kala matahari mulai congkak dengan sinarnya
Kamu keluar dari persembunyian
Memanggul kayu dan tumpukan sutra
Menuju sungai yang panjangnya tak terkira

Lebih-lebih rasanya berat
Meninggalkan senyummu yang jarang disunggingkan
Tapi Ibu bersiul lantang
Pertanda aku harus segera kembali

Mereka memanggilmu laksamana muda
Pedangmu nampak bangga engkau sampirkan
Sesekali kau mandikan lautan darah
Kau hunuskan dengan begitu marah

Kau kembali...
Dari pertapa ribuan hari
Itulah bulanmu
Masih menempel setia pada langitnya
Sesekali malu-malu bulanmu itu
Mengiris dirinya sendiri hingga nyaris segaris kuku

Aku rindu seruling bambumu

Yang rupanya terus kau tiup begitu merdu
Membuatku rindu...

Ibuku kembali berteriak
Memecah antara rasa dan asa

Suaranya tercekik
Jemarinya menusuk ke arah angin
Bibirnya susah payah berseru ngeri

"Pembunuh...pembunuh...."

Hari ini pedangmu membisu
Ia tak lagi nampak bangga terhadapmu
Dendamku berada di atas awan
Pada tebasanmu yang membekas nyeri

Rupanya Kaulah tanda tanya pada keluargaku
Penyebab ayah pergi tanpa basa-basi

Kamu tak lagi menjelma tanda titik pada ceritaku
Aku butuh koma dan tanda seru

Aku memeluk kepalamu yang terbelah

Selagi tubuhmu dikoyak nelangsa...

Monday 14 December 2020

Dugong Curcol

 Fiuh, finally bisa nulis di sini lagi. Tadinya gue panik karena blog sama sekali nggak bisa dibuka. Bahkan gue browser ke google aja juga tetep nggak mempan. Gue udah panic to the max kalau-kalau ini blog diretas orang.๐Ÿ˜ช๐Ÿ˜ช Tentunya ditemani hujan rintik-rintik favorit dan lagu-lagu mellow (saat ini yang keputar adalah Reflection-nya Disney Mulan) , gue pengen ngobrol sama kalian semuanya.

Dua hari lalu, gue ketemuan sama salah satu temen deket pas SMP. Gue pikir ini orang kenapa yah tetiba ngajak ketemuan yang kayaknya serius banget? Dan feeling ge terjawab ketika dia bilang lagi taaruf ama orang dan minta pendapat gue.

Dari sana, gue lagi-lagi kesentil dengan fakta bahwa gue sedang dalam masanya membicarakan about marriage bukanlah hal yang tabu, sok dewasa, ataupun kejauhan. Justru aneh dan nampak idealis kalo gue yang belum orientasi 'ke sana' koar-koar bilang, "Ahelah gue mah belom pengen.."

Ada dua hal yang selalu gue tanyakan kepada mereka yang akhirnya memutuskan untuk taken by someone.

1. "Apa yang bikin elu yakin this is the right time to do?"

Kebanyakan dari teman-teman gue akan jawab sesimpel, "Gue udah siap." Kesiapan setiap orang dalam melangkah ke sini bisa beda-beda sih. Siap secara mental, siap karena udah ada calon, sampai yang paling ngaco kayak mumpung pandemi nikah murah๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚ Hidup di lingkungan yang relijius, biasanya temen gue pada memilih taaruf sebagai jalan ninja menggapai jodoh. Beberapa diantaranya sebetulnya nggak ingin nikah dulu, tapi karena dihadapkan 'proses' yang jauh lebih cepat dari yang dia duga, kemudian ketemu si cowok dan cucok meong, menikahlah mereka.

Terus terang, untuk step satu ini sepertinya tidak akan gue ambil. Bagi gue akan lebih nyaman menikahi orang yang memang gue kenal dari cycle sosial (meskipun ya taaruf bisa juga kan dari sini). Hanya aja tetep gimana gitulah kalau pake proses taaruf tuh. Sepertinya, mereka yang memilih jalan ini, sedikit banyak memiliki karakter yang sama, terutama di bagian 'ideologi'nya. Of course, siapa yang enggak pengen punya jodoh yang baik? But, it just doesn't fit on me and my world is too different from that.

Belakangan, gue berpikir  mungkin bertemu jodoh seperti surprise juga lebih menyenangkan. Tahu kan? Kayak menikahi seseorang yang lu kagumi dari masa lalu, atau ketemu pelajar bule ganteng di toko buku, nikah ama artis terkenal, sampai nggak sengaja nabrak orang yang ternyata bakalan jadi our future, etc. halu bet๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…

Terus apa yang membuat gue tidak segera menikah? Hmm.. lebih tepatnya adalah i need to deal with myself first. Gue merasa belum clear dengan diri sendiri, belum dewasa, dan kemungkinan terbesar adalah memang belum siap secara apapun. Seorang temen gue bilang, "Jodoh itu datang bisa kapan saja, enggak melihat lu siap apa belom karena selamanya orang nggak bisa beneran dibilang siap 100%."

Ini ada benernya, tetapi let's we talk in reality. My salary is not enough even for me, so I wont hurt my husband if someday i push him without realizing it. I am still fatty and i keep trying everything to deal with it, and I wont my husband says I am ugly when I knew he is right. Dan masih banyak kekhawatiran gue, again.. sebagai makhluk berenang yang biasa. Boleh dong gue takut dan cemas sana-sini? Kan gue manusia dengan segala keterbatasan yang ada. Asalkan gue tetep on path  enggak jauh dari Tuhan, gue rasa berkeluh kesah sama Allah sampai gue puas curhatnya enggak apa-apa. Kalau kata Ibu, apa-apa mah Allah aja, kalau nggak bisa ke Allah lagi, kalau sedih ke Allah, semuanya pokoknya Allah, entar biar Allah mampukan atau ambil alih.

I just want to love myself first.. Be the new Me.

Pernikahan akan menjadi bad idea for this time. Setidaknya dalam otak gue as human.


2. "Hmm.. bagaimana tentang finansial, adakah elu ketakutan nggak bisa maksimal?"

Mau enggak mau gue akan sampai pada pertanyaan ini. Again, most of time temen gue bakal ngejawab, "Nggak masalah, rejeki bisa dicari." Yep, ini sangatlah benar. Tapi lagi-lagi, gue merasa akan lebih safe kalau ada perencanaan dalam hal ini.

Gue dan adek bungsu gue dididik dalam era yang berbeda, dan parenting yang lain juga. Saat gue lahir, bapak gue lagi merintis karirnya dalam dunia wartawan. Ortu gue Long Distance Marriage antara Yogyakarta-Jakarta. Ibu gue pernah cerita betapa susahnya dulu hidup meski untuk makan. Kami bahkan pernah tinggal di rumah sewa murah tapi ternyata angker yang bikin gue teriak tiap maghrib karena digangguin. Once, my mom was hit me because i drop our very last meal that day. Gue masih tiga tahun, jalan berduyut-duyut. Ibu gue yang masih muda ngegandeng gue di tangan kiri, bawa payung di tangan kanan sambil gendong adek cewek gue yang gendut banget. Sore itu hujan deras dan guelah pembawa rantang makanan yang barusan kita beli di tetangga sebelah. Rantang itu panas dan selalu nyenggol paha gue sampai akhirnya nggak kerasa tumpah di jalan. Sampai rumah Ibu gue cuma bisa nangis dan gue masih nggak paham apa yang terjadi.

Adek bungsu gue lahir dalam kondisi perekonomian yang sangat baik dan terutama Ibu sudah lebih siap. Sekarang dia sudah remaja dan bisa dibilang jauh lebih cerdas ketimbang dua kakaknya. Dia ngerti cara manaj uang, berpikir maju, cenderung lebih sensitif, suka berbagi, dan kaya akan kondisi di sekitarnya. Intinya dia bisa sangat survive.

Mungkin gue nampak bertele-tele, tapi intinya adalah I wont to raise my kiddos when i am in week situation. Gue tidak ingin mendidik mereka dengan bilang, "Nak, jangan beli mainan itu dulu, ibu belum ada uang." which i was. Gue ingin banget suatu saat nanti hanya bilang, "Yes we have money for that, but think about this! You still have more than that. Maybe you can share it first to poor kiddos and then we can buy it if you still want."

Jujur, bicara seperti ini gue merasa bersalah dengan teman-teman yang bilang rejeki sudah ada yang atur. Memang Allah always know the best for us.. namun gue sebagai manusia hanya ingin berusaha lebih siap. Gue tidak mengharapkan seseorang yang sudah mapan seandainya belum. Tidak pula harus udah punya ini itu. Tapi gue berharap dia tahu dan sadar bahwa kalau ini clear, paling enggak kita bisa lebih sehat secara hal lainnya juga. 

Pada akhirnya, larinya ke Allah juga. Kalau aja Allah bolehin gue di posisi yang lebih siap..

Gue sedang belajar dan bertumbuh, mencari apa yang sebetulnya betul-betul gue mau dan ingin diwujudkan. Masih terngiang-ngiang kalimat Aoi dalam benak gue, "Be patient with urself, and put your mind at ease." Gue percaya, Tuhan tuh ngerti banget apa yang paling tepat buat apapun dan siapapun. Jangan sampai keluar kalimat gue enggak layak karena Allah bisa aja memantaskan buat kita.

Aa Gym pernah ngomong, "Berprasangka Allah nggak ngasih ampunan sama dosa kita itu nggak baik. Karena Allah itu Maha Pemaaf. Minta aja, tobat, istighfar, Allah selalu dengar. " while Deny Sumargo juga ngomong dalam youtube-nya, "Manusia suka bertindak seakan Tuhan, sulit memaafkan diri dan memaafkan orang lain. Padahal Tuhan aja pemaaf banget."

Oiya, gue jadi inget momen ini, dimana gue lagi nge down banget (iya lagi-lagi gue ngedown. Emang yah proses pendewasaan tuh sakitnya bukan main). Pas gue sholat, gue nangis sejadi-jadinya dan cuma minta satu hal, gue diberi petunjuk jadi orang yang jauh lebih baik. Nggak main-main, gue lebih ke nodong Allah daripada memelas๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚ 

"Kenapa sih ya Allah, aku tuh capek hidup kayak gini. Aku kurang apa? Kasih tau! Layakin! Aku capek hidup kayak gini! Ya Allah, plis lah, aku ditolong. Aku minta maaf dosaku banyak. Kalau rejekiku habis, kan seharusnya aku mati. Kenapa masih hidup? Seharusnya berarti rejeki ku ada, turunkan dong! Ya Allah aku mau jadi orang lebih baik. "

Kira-kira seperti itu curcol gue waktu itu. Btw emang cara gue berdoa kayak gitu, gue ngerasa biar deket sama Allah layaknya sahabat sendiri.

Dan malemnya gue mimpi sesuatu. Ceritanya gue kayak lagi di sekolah tahfidz gitu, tempatnya di tengah perkebunan, ladang, sawah, apapun itulah. Disitu gue ceritanya kayak nunggu setoran hafalan sambil gendong bayi cowok yang ganteng banget. Wajahnya lucu, badannya gemuk sehat, kulitnya putih bersih, suka ketawa. Tapi setiap digendong orang lain dia bakal nangis jerit-jerit. Akhirnya ini bayi-yang-entah-siapa-bapak-ibunya gue bawa kemana-mana. Kemudian tibalah saatnya gue harus maju hafalan.

Entah kenapa, seorang cowok datang ngehampiri gue untuk gendong itu bayi. (Btw gue sangat mengenal cowok ini karena dia yang hampir selalu jadi lakon utama yang gue ceritakan di blog ini ๐Ÿ˜Œ๐Ÿ˜Œ). Ajaibnya, bayi ini diem nggak nangis lagi, justru tenang banget di gendongan dia. Serem nggak?

Terus gue buru-buru ke ustadzah gue untuk setoran. Cowo itu ada di sebelah gue, masih dengan bayi ini. Namanya mimpi ya, alurnya nggak terlalu jelas. Yang pasti, ada satu ayat yang selalu diulang-ulang ustadzah gue, dengan kode 88:9. Gue langsung kebangun dan mendapati gue masih di kasur. Jujur gue deg-deg an banget dan badan gue sampe bergetar saking merindingnya.

Setelah gue udah lumayan sadar, gue segera nyari Al Quran (atau search on google, gue lupa), dan ternyata ayat inilah yang ada di mimpi gue..

                                                                         ู„ِุณَุนْูŠِู‡َุง ุฑَุงุถِูŠَุฉٌ

                                         “Mereka senang karena usahanya (sendiri)”

QS. Al Ghasiyah:9

Saat masih di dunia mereka beramal shalih, mereka shalat, berpuasa, membayar zakat, berhaji, mereka membaca Al-Quran, mereka menjaga diri dari hal-hal yang haram, sehingga di akherat Allah menampakkan balasan-Nya dan mereka ridha dengan balasan tersebut.(https://firanda.com/3640-tafsir-surat-al-ghasyiyah-tafsir-juz-amma.html )

Lu merinding nggak? Sama, gue juga๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚ Mungkin sejak itulah gue belajar agama lebih rajin. Kalo dulu males baca buku fiqih, siroh nabi, dengerin ceramah, sekarang udah lumayan keren lah dibandingkan kemarenan wkwkwk. Kajian yang gue paling sering denger dan favorit adalah Aa Gym (biar hati adem),  Dr Zakir Naik (karena dia sering jelasin tentang sains dan teknologi dalam islam. Gue dengerin beliau juga karena temen bule banyak yang belum kenal islam dan sering nanya ke gue ini itu), Syeikh Abderrouf Ben Halima (ruqyah jin),  dan yang baru-baru ini adalah Ust Khalid Bassalamah.

Hei gue versi 5 tahun besok yang mungkin baca ini dan udah gendong anak! Lihat  nih gue lagi berupaya biar kita bahagia besok!

 
Catatan Lebay Seorang Dugong Blogger Template by Ipietoon Blogger Template