Friday, 18 December 2020

Laksamana Bulan

Kala hujan menyapaku
Lalu kamu bersenandung sebuah lagu
Tidak ada yang membuatmu malu
Kecuali bila aku memergoki kamu

Kala berada di hutan rimba
Kamu berkelana di dalam sana
Entah apa yang sedang kamu cari
Aku ada di sini mengawasi

Kala matahari mulai congkak dengan sinarnya
Kamu keluar dari persembunyian
Memanggul kayu dan tumpukan sutra
Menuju sungai yang panjangnya tak terkira

Lebih-lebih rasanya berat
Meninggalkan senyummu yang jarang disunggingkan
Tapi Ibu bersiul lantang
Pertanda aku harus segera kembali

Mereka memanggilmu laksamana muda
Pedangmu nampak bangga engkau sampirkan
Sesekali kau mandikan lautan darah
Kau hunuskan dengan begitu marah

Kau kembali...
Dari pertapa ribuan hari
Itulah bulanmu
Masih menempel setia pada langitnya
Sesekali malu-malu bulanmu itu
Mengiris dirinya sendiri hingga nyaris segaris kuku

Aku rindu seruling bambumu

Yang rupanya terus kau tiup begitu merdu
Membuatku rindu...

Ibuku kembali berteriak
Memecah antara rasa dan asa

Suaranya tercekik
Jemarinya menusuk ke arah angin
Bibirnya susah payah berseru ngeri

"Pembunuh...pembunuh...."

Hari ini pedangmu membisu
Ia tak lagi nampak bangga terhadapmu
Dendamku berada di atas awan
Pada tebasanmu yang membekas nyeri

Rupanya Kaulah tanda tanya pada keluargaku
Penyebab ayah pergi tanpa basa-basi

Kamu tak lagi menjelma tanda titik pada ceritaku
Aku butuh koma dan tanda seru

Aku memeluk kepalamu yang terbelah

Selagi tubuhmu dikoyak nelangsa...

0 comments:

Post a Comment

 
Catatan Lebay Seorang Dugong Blogger Template by Ipietoon Blogger Template