Sunday, 10 September 2017

dialog di tengah hujan



"Tebak, jika kita orang terakhir di dunia ini yang hidup, menurutmu apakah aku akan memilihmu untuk kunikahi?", aku bertanya padanya pada suatu sore.
"Ya, tentu saja, kenapa tidak? Bahkan aku yakin meskipun aku bukanlah yang terakhir, jika kamu sudah lelah dengan semua lelaki di dunia ini kamu pasti akan tetap memilihku, kan?", ia bertanya dengan wajah yang datar.
"Kenapa kau bisa yakin begitu?", aku merapatkan diri di sebelahnya.
Ia menghela napas, "Hmm.. bukannya sudah jelas? Mana mau kamu memilih hidup didampingi orang yang kamu sama sekali tidak kenal? Jangankan mencintai, kamu kan orang aneh. Bukankah lebih mudah bagimu menjalani hidup dengan yang sudah kamu kenal dekat meskipun tanpa cinta?"


Aku terdiam menatap wajahnya lekat-lekat.
"Memangnya kamu rela melakukan itu untukku?"
Dia tertawa ringan, "Yah, anggap saja aku beruntung juga karena tidak perlu cemas lagi memilih masa depan seperti apa yang akan aku jalani, kan?"


Aku memandang kelabu yang mulai menangis rintik-rintik.
"Mau pulang?"
"Tidak, aku ingin tinggal."
"Aku tahu kamu akan menjawab begitu", sambil berbicara ia mengamitkan jaketnya ke pundakku.


"Bagaimana jika kamu ternyata jatuh cinta dengan orang lain? Aku kan cuma sahabatmu, memangnya kalimatmu ini masih berlaku?", tanyaku.
"Masih..", ia mulai memainkan kubik kesukaannya, "..lagipula hal itu tidak akan terjadi kok."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau", ia menjawab sesederhana itu. Aku merebut kubik di tangannya, ia melepas pasrah.


"Kamu jangan bercanda."
"Memang tidak."
"Lalu?"
Tangannya merebut kubiknya di jemariku, "Mari kita mencoba saling mencintai sedikit demi sedikit. Memangnya kamu mau mencari yang seperti apalagi sekarang? Kita sudah sangat sempurna, kamu kan tahu itu. Sedikit-sedikit saja, biarkan semuanya mengalir."


Hujan mulai deras menari, menimbulkan genderam indah di setiap sudut.
"Mengapa harus sedikit?", aku menengadah langit.
"Bukankah itu menguntungkan? Dengan begitu kita bisa menjelajahi semua dengan penuh ketelitian bukan? Jangan tergesa-gesa membuktikan, nanti lelah sendiri di tengah jalan", seperti biasa ia berteori seakan cinta adalah sebuah mata perkuliahan.


Aku mengedikkan bahu, sedangkan dia tersenyum ringan.
"Mau pulang?", tanyanya lagi.
"Kuanggap kamu baru saja memintaku menjadi teman hidup.", aku berkata seraya bangkit dari tempat dudukku.


Kami berlari-larian dengan payung di tangan


0 comments:

Post a Comment

 
Catatan Lebay Seorang Dugong Blogger Template by Ipietoon Blogger Template