Ini postingan ketiga gue hari ini dan ini udah jam 22.44. Kalau kata adek jamet gue, "Waktunya overthinking, kak!"
Well, cerita ini sebenarnya hampir gak pernah gue beranikan untuk ditulis. Kenapa? Karena terlalu menyakitkan. Gue gak berani meraba-raba luka gue. Begitu kelar masa nangisnya (dulu nangis tiap hari soalnya), gue matiin rasanya. Turn off gitu aja tanpa basa-basi.
Gak gue rasa-rasa atau romantisasi. Meskipun banyak yang malah khawatir sama gue yang 'pulih terlalu cepat' dan 'ketawa terlalu lebar'.
Well, i dont care.
Gue bisa nangis pas sedih aja udah syukur, kan?
As quiet people knew, i used to had a boyfriend. My first ever for almost 10 years. But we broke up and then yeap, life must go on, right?
At that time, i was thinking that i will just focusing on myself. Protecting me from somebody that might harm me. Nggak mau denial, tapi bejir patah hati tu sakit banget buset. I found myself almost died cutting ma own hand because it was SO painful. That it created me to be someone else..😖
Gue ngerasa hyper 'naikin value' sana-sini (anjay). I cut my hair into short, ambil kursus gitar, belajar makeup, olahraga, belajar bahasa baru, ngegame yang gue beneran suka, baca buku kece, and do everything... that in the past, i couldn't do that because him will hate me more for being 'higher' than himself.
It's like, i promise to myself that i will make my ownself to be proud of me.
I promise that someone feel so lucky to find me as his partner di tengah jutaan manusia dugong di dunia ini.
Sometimes, i actually feel like being thankful for he broke my heart. I knew, if he didn't do that, gue tau bahwa gue akan terus menyayangi dia meskipun otak gue gabisa liat my own future with him.. Gue takut setengah modar ngebayangin udah 12 tahun hidup dengan namanya, kayak setiap milestone pencapaian kami selalu bareng.. tiba-tiba gak ada.
Ternyata, tahun pertama gue tanpa 'dia', akan menjadi tahun-tahun terbaik gue selanjutnya.
Let me tell you about my story...
Dia adalah temen SMA gue, sebut aja X. Kami satu angkatan. Dulu, gue cukup populer karena friendly dan 'abnormal' (i dont mean to be narcistic, ya). Sedangkan dia dulu dikenal karena pindahan dari Inggris. Gue kenal dia karena kami sama-sama dikirim sekolah buat lomba bahasa Inggris. Lebih deket lagi karena latihan intensif selama libur sekolah karena waktu itu kami maju ke Malaysia.
Nggak begitu banyak hal menarik untuk diceritain selama SMA. Selain 'liburan' di Malaysia, kami pernah saling tukeran buku (dia pinjemin gue novel Harry Potter versi asli dari London, gue pinjemin dia novel Sherlock Holmes yang gue beli pas di KL sama dia), dan X satu-satunya cowok yang gue pinjemin jas lab buat pelajaran kimia.
Meskipun kami udah mulai deket sejak kelas 11, tapi emang murni sebatas temen deket aja, nggak lebih. He knews there's a boy that i like him so much. Salah satu sahabat gue justru malah naksir sama X, karena itu dulu gue berusaha comblangin mereka berdua.
Singkatnya, habis lulus SMA, kami mulai saling suka cuma gara-gara nggak sengaja nonton film romantis berdua. Bagusnya dia adalah gercep. Nggak sampai seminggu sejak 'kami ngerasa aneh', dia langsung nembak, tepat pas malam tahun baru.
Gue bahkan belum yakin sama perasaan gue waktu itu dan jujur aja, cerita gue sama si cowok kalem belom kelar woi😂 (kayak ngegantung doang emang pada akhirnya).
Tapi, gue tetep terima juga si X karena emang waktu itu beneran ada rasa. Padahal, sekali lagi, sahabat gue cinta berat sama dia!
Kalau dipikir-pikir, gue brengsek juga waktu itu, ya?😑
Masa transisi dari sahabat menjadi cinta, itu memang gak mudah, meskipun seru banget. Ada masa di mana gue beneran ngerasa di-princess treatment sama dia. He used to be a very good man at that time (di mana para sahabat gue gak relate karena mereka mengenal X sebagai cowok yang jahat).
Kami sama-sama ngehadapi yang namanya pacaran pertama, cemburu pertama, kucing-kucingan karena backstreet, bingung ngejelasin ke sahabat gue yang akhirnya ngejauhin gue, dsb.
Dia adalah orang pertama (bahkan sampai sekarang) yang kami berdua sama-sama ngerti satu sama lain. Bahkan tanpa kata, bisa saling baca. Ngerti rahasia masing-masing. It's like, im on his, him on me.
Kami tumbuh dewasa bareng, meninggalkan usia belasan, menuju 20an.. yang sayangnya, gak sampe di usia 30, kami pisah.
Gue menyadari bahwa gue gak bisa ngeliat my future on him setelah tahun ke-6. Ketika dia mulai mental breakdown dan bahkan apapun yang gue kasih ke dia (support, kalimat penenang, bantuan lowker, dsb) udah gak guna. Semuanya ditepis.
No, gue nggak lagi bilang my future was destroyed 'just because' we are still poor and no money. I swear, meskipun gue brengsek karena belum move on sama cerita sebelumnya dan tentunya punya banyak kekurangan, gue sayangi dia sepenuh hati. Gue ngerasain yang namanya day by day, i love him more than before.
The more i knew he was sad and down, the more i want to protecting him. Semakin gue menemukan kelemahan dia, gue cintai kelemahan itu sepenuh hati dan berharap dia bisa ngeliat how precious he was seperti gue ngelihat dia. That was it.. that big.
Red flag pertama yang gue abaikan adalah dia selalu peduli tentang dirinya. Ini yang pada akhirnya membuat dia juga pergi dari gue😂😂
Ada alasan kenapa blog ini hampir gak pernah ada cerita dia, adalah karena dia takut keliatan orang kalau jalan sama gue. Takut sama pendapat orang, takut sama orang tuanya, takut semuanya.
Di masa itu, dia tahu masih banyak teman kami yang suka mampir baca blog ini. So he just wipe me up not to tell anybody.
Kami juga gapernah posting foto berdua (which i was defined as a privacy, but then i realized he was just won't anybody knew me as his gf).
Kami masih terlalu 'muda' dan polos untuk tahu kalau ini gak baik. Gue kira, ini udah better dirahasiakan. Masalahnya, kami jadi tertutup, gak ngerti cara ngetreat dengan baik satu sama lain. Nggak bisa curhat ke orang lain, nggak kepikiran cari artikel atau buku yang ngebahas tentang relationship, anything.
Kami berdua belajar dari apa yang kami sama-sama percaya itu baik. Dan ketika akhirnya sadar dan pengen diperbaiki, ya udah terlambat. Belum lagi, diperparah LDR dan ketemuan bisa dihitung jari.
Dia terlanjur ngecap gue sebagai cewek yang ngambekan cuma karena hal kecil kayak nggak dikabari.
Dia terlanjur ngeliat gue sebagai cewek pemarah dan nggamau ngertiin dia.
Gue di sisi lain, gak paham kalau cowok gak suka romantis all the time.
Gak paham kalau cowok butuh ngilang untuk recovery dirinya sendiri.
Banyak hal yang kami sama-sama gak paham.
Dia terlanjur nuntut gue harus jadi pasangan idaman dia sesuai kriterianya.
Gue terlanjur sulit masuk ke dunianya lagi karena semua kalimat gue jadi pedang di matanya.
Kami lama-lama juga jadi kayak ibu dan anak.
Gue sibuk 'ngingetin' dia, dia 'nurutin' gue karena gak mau berantem.
Tangisnya gue, gak lagi jadi hal yang mengganggu dia. Dia tetep bisa tidur nyenyak.
Gak ada lagi yang namanya dirayu sampe baikan. Gue dibiarin sampe reda sendiri.
Diamnya dia, nggak lagi jadi warning buat gue. Gue sibuk terobos kapanpun karena gue gak suka dia diam dan ngasih gue jarak.
"Kamu nggak pernah ngehargai usahaku, maunya banyak, kalau nggak dituruti akan marah!" kata dia.
"Kenapa sih, kamu nggak bisa lembut? Kenapa aku kayak jadi cewek yang gak guna buatmu?" kata gue.
Kami kehilangan cara untuk saling menghormati satu sama lain.
Tapi, kami nggak saling meninggalkan. Maksain untuk tetap saling pegangan. Sayangnya, alasannya nggak sinkron. He always said that if it wasn't me, nobody will loves him as i did. For me, i won't leave him so simply because i love him.
Damn😂😂😂
One day, kami berdua sama-sama terpuruk. Gue di PHK, dia pulang ke Indonesia tanpa karya. Waktu itu pandemi mulai merebak. Gue inget tengah malam, di tengah kegelapan, nangis ke Tuhan tanpa ngadu. Cuma nangis. Gak paham mau minta apa, rasanya cuma berat aja.
Komunikasi kami memburuk. Semuanya jadi seremonial. Cinta yang kata dia harus terus dipupuk, gak tau ilang kemana. Kayaknya, tinggal gue doang yang cinta bejir😂 Dia lebih sayang kucingnya dan dirinya.
Yang tersisa cuma alasan rasional aja. Nggak ada energi buat nyari orang baru. Nggak ada tenaga buat putus. Kami udah berdua, jadi cuma bisa saling support.
Tiap malam latihan wawancara bahasa Inggris buat beasiswa dia. Memprediksi pertanyaan dan jawaban yang bakal keluar. Tiap pagi dia nemenin jogging gue, biar kurusan.
Titik terang mulai ada waktu gue baru dapat pekerjaan lagi dan dia dapat beasiswa S2. Kami harus LDR lagi. Dia main ke rumah gue, minta ibu gue ngejagain gue sebelum someday dia jemput untuk nyusul.
Gue inget, di hari terakhir kami ketemu di sebuah kafe, dia pegang tangan gue. Kami senyum, ngeliat cahaya rasanya terang lagi. Itu hari Kamis. Jumat besoknya dia berangkat ke negara lain buat S2-nya, gue hari pertama masuk kerja. Epic banget kan?
Kafe rame banget waktu itu, tapi rasanya sendu karena kami saling jatuh cinta lagi. Yang ilang kayak balik lagi.
Nggak sangka, itu adalah hari terakhir kami ketemu as a partner.
Jarak yang ini membutakan. Dia lupa dirinya, bahkan keluarganya. Dia juga mulai lupa... Tuhannya.
Silau banget ketika dapat hal yang selama ini cuma didambakan, tahu-tahu dikasih semua tanpa jeda. Teman-teman baru, hidup baru, potensi baru, dibutuhin cewek-cewek...
Gue nggak akan lupa hari di mana dia minta kami udahan.
4 hari yang penuh perjuangan..
4 hari yang sia-sia..
4 hari yang penuh negosiasi, harapan palsu kalau besok bakal mereda, padahal nggak ada.
Dia kayak orang kesetanan, lupa semuanya. Lupa 10 tahunnya.
Semua kalimatnya ngebunuh gue setiap detik, tapi nggak ada rasa sakitnya.
Gue percaya ini akan ada redanya.
Sampe akhirnya keluarlah kalimat-kalimat itu.
"From now on, i will find somebody else. I will treat her better than i'm with you. I knew i will regret my decision because i knew, no one will love me as much as you do. I don't love you anymore since 4 years ago. I'm just faking it. Kamu bucin tolol."
Akhirnya gue tahu, gue emang dipukul mundur.
Nampar gue untuk lari ngambil harga diri gue lagi, yang udah lama gue tinggalin.
Gue tinggalin notes panjang di WhatsApp-nya, yang mana gue tahu waktu itu dia lagi jalan main sama temen-temen ceweknya yang dia banggakan. And the last kampret things that i he begged from me, to protected him by not telling his parents about these shit. Dia takut diusir dari rumah kalau ketauan pacaran.
Ancur banget bejir😂😂😂 Gue cuma bisa ngomong sama Babab dan Warda. Babab nangis lebih keras daripada tangis gue. Warda nyumpahin dia lebih lantang padahal gue masih ngebelain dia waktu itu.
Gue nangis keras setelah sekian lama cuma bisa dalem hati. Itu bulan-bulan tercengeng di hidup gue, woi😑😑
Dia dateng lagi 3 bulan kemudian. Dengan wajahnya yang keliatan gak lagi bercahaya meskipun penampilannya udah berubah (jadi lebih stylist). Rahangnya tremor, katanya sejak kami putus dia jadi kayak gitu. Teman-temannya ninggalin dia.
"Many thing that i regret the most, is leaving you."
That was how i felt that i finally take my crown back.
0 comments:
Post a Comment